Ada Harga Ada Rupa… Ini Bukan Iklan Lho
Pada hari Minggu, 14 Desember 1997, saya dan 23 wartawan Seksi Hankam/ABRI dari berbagai media cetak dan elektronik mendapatkan brevet selam dari TNI AL di Resor Wisata Pulau Sepa, Kepulauan Seribu. Brevet itu didapat setelah saya dan 23 wartawan itu menyelesaikan Program Latihan Dasar Selam Angkatan Ke-3 Mabes TNI AL Khusus Wartawan selama dua minggu. Penyematan brevet dilakukan oleh Sekretaris Dinas Penerangan TNI AL Kolonel Adi Winarso. Namun, sebelumnya, para wartawan mengambil sendiri brevet-nya pada kedalaman 40 kaki (12,2 meter). Pagi itu, dengan perasaan bangga saya lengkap dengan peralatan SCUBA (Self-Contained Underwater Breathing Apparatus) atau Perangkat Bernapas Bawah Air yang Berdiri Sendiri, menyelam ke kedalaman 40 kaki dan mengambil brevet dari petugas yang menunggu di sana. Setelah menerima brevet dan mengecek alat penunjuk kedalaman, saya terkejut melihat bahwa saya lupa melepaskan jam tangan saya, Omega Constellation, yang lumayan mahal. Saya pikir waduh kalau sampai kemasukan air laut dan rusak, reparasinya pasti mahal banget. Saya berenang agak menjauh agar tidak mengganggu proses pengambilan brevet. Saya memutar pergelangan tangan dan memperhatikan dengan saksama pergerakan jarum jam untuk mengetahui jam itu masih berfungsi atau tidak. Oleh karena jam itu tidak dilengkapi dengan jarum detik, maka saya harus menunggu pergerakan jarum panjang, jarum menit. Ternyata, jam itu masih berfungsi. Dengan lega, saya lalu naik ke permukaan dengan perlahan.
Dua hari kemudian, saya pergi ke
toko tempat saya membeli jam itu, dan menanyakan, jam itu tahan air sampai
kedalaman berapa? Dijawab, jam itu tahan air hingga kedalaman 100 meter.
Padahal jam itu tidak dilengkapi dengan banyak sekrup dan tombolnya tidak
dilengkapi drat, seperi layaknya jam khusus selam.
Saya sangat senang dapat mengikuti
Latihan Dasar Selam yang diadakan oleh TNI AL pada tahun 1997 itu, mengingat 2
tahun sebelumnya, saya sempat mengikuti latihan dasar selam yang diadakan oleh
PADI (Professional Association of Diving Instructors). Latihannya diadakan di
Hotel Hilton pada pukul 19.00-20.30
selama dua minggu. Melihat saya selama beberapa hari tidak berada di
kantor pada pukul 19.00-20.30, maka Redaktur Pelaksana Robby Sugiantoro menegur
saya. Akhirnya, saya memutuskan tidak melanjutkan latihan dasar selam itu. Itu
sebabnya, ketika ada tawaran latihan dasar selam dari Mabes TNI AL, saya tidak
menyia-nyiakannya. Dari Kompas, yang
ikut saya dan Ricky Tafuama.
Sebelum mengikuti latihan selam
yang diberikan TNI AL, para peserta diminta untuk memasuki hyperbaric chamber (ruang hiperbarik) yang berlokasi di Rumah Sakit
TNI AL dr Mintohardjo di Bendungan Hilir, Jakarta. Di dalam ruang hiperbarik
itu, para peserta diberikan tekanan sebesar 3 atmosfer, atau setara dengan
kedalaman 30 meter, atau 90 kaki. Semua peserta dapat melewati percobaan itu
dengan baik sehingga dianggap memenuhi syarat untuk mengikuti latihan SCUBA
Diving di Mabes TNI AL Cilangkap.
Berbeda dengan latihan selam yang
diberikan oleh PADI, latihan selam yang dilakukan oleh personel Komando Pasukan
Katak itu sangat berat. Sebelum latihan selam dimulai, sekitar pukul 14.30, fisik
para wartawan digembleng secara khusus, ala militer. Kami diminta berlari
keliling tanpa sepatu. Beberapa wartawan telapak kakinya sampai lecet karena
tidak terbiasa. Namun, tidak ada yang mengeluh. Semua latihan fisik itu diikuti
dengan bersemangat.
Yang paling lucu adalah kami itu
mengikuti latihan fisik itu dengan banyak bercanda. Sebab itu, kami diminta
untuk push up sebanyak 10 kali. Kami
bingung kok setiap kali push up
ditambah dengan 10 kali lagi. Kami bertanya-tanya kapan nih berhenti push up nya? Sampai ada seorang perwira TNI AL yang
menginformasikan kalau kalian tidak berhenti bercanda, maka push up itu tidak akan berhenti. Begitu
kami berhenti bercanda maka push up
segera dihentikan. Waduh, kenapa enggak bilang dari tadi?
Yang paling berkesan adalah pada
saat para peserta diminta menahan napas di dalam air. Rata-rata para wartawan
mampu menahan napas selama 45-65 detik. Namun, ada seorang wartawan, Bekti
Nugroho dari RCTI, sanggup menahan napas hingga lebih dari 120 detik, 2 menit
lebih. Sampai-sampai instruktur dari Komando Pasukan Katak menyelam untuk
mengecek apakah keadaan Bekti baik-baik saja. Ketika ia melihat ada gelembung
udara kecil keluar dari mulut Bekti, ia naik ke permukaan sambil mengacungkan
jempolnya. Begitu stopwatch
menunjukkan waktu 148 detik, kepala Bekti keluar dari dalam air.
5 meter, yang pertama dilakukan adalah meraih alat untuk bernapas yang terhubung dengan tabung udara. Setelah dapat bernapas di dalam air semuanya menjadi mudah dilakukan. Setelah seluruh perlengkapan selesai dikenakan, peserta pun naik ke permukaan.
Comments
Post a Comment