Selamat Jalan Pak Sayidiman
Turut berduka atas kepergian Letnan Jenderal (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo (93), salah seorang pemikir dari kalangan TNI, pada hari Sabtu, 16 Januari 2021, sore.
Saya pertama kali mengetahui Bapak Sayidiman Suryohadiprojo pada saat saya menemani rekan saya, wartawan Kompas Chris Pudjiastuti, meliput ceramahnya tentang bangsa Jepang di Gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta, 26 November 1983. Beritanya dimuat pada tanggal 29 November 1983, dengan judul ”Menurut Bekas Dubes Sayidiman, Solidaritas Bangsa Jepang Merupakan Kekuatan dan Sekaligus Kelemahan”. Pada saat itu, saya belum satu tahun menjadi wartawan Kompas, usia saya 27 tahun. Pada tanggal 21 Desember 1983, saya diminta oleh Wakil Redaktur Pelaksana Robby Sugiantoro untuk mewawancarai Bapak Sayidiman tentang hasil pemilihan umum di Jepang. Saya pun langsung membuat janji temu untuk mewawancarainya di kediamannya.
Saya ingat pada saat itu saya mengenakan celana jins biru dan kaus polo putih. Sesampai di kediamannya, saya mengetuk pintu, dan Bapak Sayidiman sendiri yang membukakan pintu. Begitu melihat saya, ia memandang dari ujung rambut hingga ke ujung kaki, dan dengan nada kaku dan ketus mengatakan, ”Kompas mengirim kamu untuk mewawancarai saya?” Mungkin pada saat itu, ia mengharapkan Kompas mengirim seorang wartawan senior untuk mewawancarainya. Namun, saya tidak kecil hati, saya langsung mengatakan, ”Saya sudah beberapa kali meliput ceramah Bapak, dan semua buku bapak tentang Jepang sudah saya baca, terutama tentang Restorasi Meiji." Saya langsung mengisahkan tentang Restorasi Meiji seperti yang dikemukakannya dalam ceramah di Perpustakaan Nasional. Begitu mendengar semua perkataan saya, wajahnya langsung berubah menjadi ramah dan bersahabat, serta mengajak saya masuk untuk wawancara. Setelah itu, tidak terhitung berapa kali saya mewawancarainya. Ia bahkan dengan sabar mau saya wawancara, pada saat saya sempat mengalami gangguan pendengaran selama enam bulan sebagai akibat kecelakaan motor yang terjadi pada tahun 1988. Ia tidak marah ketika saya beberapa kali meminta ia mengulang pernyataannya karena saya tidak dapat mendengarnya secara jelas.
Terakhir saya mewawancarainya pada tanggal 24
Juni 2011, ketika Bapak Sayidiman terpilih sebagai salah salah seorang dari lima
Cendekiawan Berdedikasi Kompas. Hasil wawancaranya dimuat pada tanggal 27 Juni
2011, sehari sebelum hari ulang tahun Harian Kompas. Ia sempat beberapa kali
menghubungi saya, untuk memprotes tulisan saya tentang G-30-S, yang dianggapnya
keliru karena tidak sesuai dengan versi Pemerintahan Ode Baru. Demikian juga saat
saya memberitakan hasil wawancara dengan mantan Pangkostrad Letnan Jenderal
(Purn) Kemal Idris tentang G-30-S saat melayat Jenderal Besar Abdul Haris
Nasution, 6 September 2000.
”Dengan
meninggalnya Pak Nas, ungkap mantan Pangkostrad Kemal Idris, maka makin sulit
pula upaya bangsa ini untuk mengorek tuntas misteri G-30-S/PKI yang hingga kini
masioh menjadi tanda tanya bagi banyak orang. Apa yang kita kecewa adalah
(karena) Soeharto dua kali didatangi oleh Kolonel A Latief (Komandan Brigade
Infanteri I/Jayasakti V Jaya, saat itu) dan dia menerima laporan bahwa pada 30
September 1965 akan terjadi sesuatu. Saya sangat kecewa sekali pada Soeharto
yang tidak mengambil tindakan apapun untuk pengamanan (hingga timbul kesan)
saat itu, seolah-olah biarlah ada orang mati supaya dia bisa berkuasa,” kata
Kemal Idris.
Comments
Post a Comment