Nostalgia: Mengikuti Penarikan Mundur Tentara Vietnam dari Kamboja
Pada hari Kamis, 21 September 1989,
sore, ada berita dari kantor berita asing menyebutkan bahwa Vietnam menarik mundur
26.000 tentaranya dari Kamboja. Melihat berita itu, Redaktur Pelaksana Robby
Sugiantoro memanggil saya, dan meminta saya ke Kamboja untuk meliput peristiwa
itu. Pulang kantor, saya menyiapkan pakaian seperlunya dan mesin ketik baterai dalam ransel
sehingga saya mudah bergerak ke mana-mana. Keesokan harinya, saya berangkat ke
Bangkok, Thailand. Saya harus bermalam di Bangkok, karena satu-satunya pesawat
ke Phnom Penh, Kamboja, berangkat dari Bangkok siang hari, sementara pesawat
Jakarta-Bangkok berangkat dari Jakarta pada sore hari.
Pada hari Sabtu, 23 September
1989, siang, saya tiba di Phnom Penh. Semula saya berniat menginap di Monorom
Hotel, Phnom Penh. Dengan PD (percaya diri), saya menuju ke Monorom Hotel.
Namun, sesampainya di sana, ternyata hotel penuh. Dan, dari petugas hotel
diinformasikan bahwa semua hotel di Phnom Penh penuh. Waduh mau nginep di mana
ini? Dengan galau, saya meninggalkan Monorom Hotel berjalan ke restoran terdekat
untuk makan siang. Begitu memasuki restoran, saya bertemu dengan teman saya,
wartawan The Nation Thailand, dan ia
mengajak saya menginap di salah satu rumah besar di kompleks perumahan mewah yang disewakan, yang
letaknya di belakang Istana Kerajaan Phnom Penh. Rumah-rumahnya mirip rumah-rumah besar di daerah elite Menteng, Jakarta.
Pantas saja semua hotel di Phnom
Penh penuh. Pada hari Senin, 25 September 1989, dijadwalkan lebih dari 9.000
tentara Vietnam akan ditarik mundur dari Phnom Penh menuju Ho Chi Minh City
(dulu, Saigon), Vietnam. Dan, ada 106 pengawas internasional serta ratusan wartawan
asing yang akan menyaksikan peristiwa itu.
Pada hari Minggu, 24 September 1989, sore, Perdana Menteri Hun Sen mengadakan jumpa pers. Ia mengatakan, dengan ditarik mundurnya tentara Vietnam dari Kamboja, maka substansi masalah Kamboja pun berubah. Selama ini, ada dua kunci utama bagi penyelesaian politik masalah Kamboja, yakni pertama, penarikan mundur tentara Vietnam dari Kamboja, dan kedua, mencegah kembali berkuasanya Khmer Merah. Dengan demikian, setelah tentara Vietnam ditarik mundur dari Kamboja, langkah berikutnya adalah melakukan langkah pencegahan kembali berkuasanya Khmer Merah. Khmer Merah bermarkas di wilayah di dekat perbatasan Kamboja dengan Thailand. Dan, menurut Hun Sen, Thailand berjanji tidak akan membiarkan wilayahnya digunakan sebagai tempat untuk memasok senjata kepada Khmer Merah.
Dalam acara
jumpa per situ, saya bertemu dengan tiga wartawan dari Indonesia, tetapi saya hanya
ingat bahwa salah seorang di antaranya adalah wartawan Majalah Gatra. Kami
berempat patungan menyewa mobil, sebuah sedan, untuk mengikuti perjalanan
tentara Vietnam dari Phnom Penh ke Ho Chi Minh City yang jaraknya 250 kilometer.
Pada hari Minggu, 25 September
1989, pagi-pagi sekali, jalan raya di depan Istana Kerajaan Phnom Penh, yang
tidak jauh dari tepi Sungai Tonle Sap, sudah dipenuhi orang. Baik itu, tentara
Vietnam yang tengah bersiap-siap untuk pulang ke Ho Chi Minh City, warga
Kamboja yang berdiri di sepanjang jalan untuk melepas kepergian tentara
Vietnam, pejabat pemerintah, polisi Kamboja, para wartawan, maupun wisatawan
asing. Sebanyak 700-an bus dan truk, tank, kendaraan tentara lain diparkir di
sepanjang jalan.
Selain dilepas oleh warga Phnom Penh dengan lambaian tangan, banyak juga yang mengibarkan mengibarkan bendera Vietnam kecil dari kertas. Ada pula yang memberikan buah, seperti kelapa dan pisang,kepada tentara Vietnam.
Iring-iringan kendaraan tentara
Vietnam memasuki Jalan Nomor Satu yang menghubungkan Phnom Penh dengan Ho Chi
Minh City. Oleh karena, tahu perjalanan
dari Phnom Penh ke Ho Chi Minh City akan memakan waktu 5-7 jam, maka kami
berempat memutuskan untuk mencari makan dulu. Kami berencana akan meninggalkan
Phnom Penh paling lambat pukul 12.00. Dengan demikian, kami berharap dapat tiba
di Ho Chi Minh City paling lambat pukul 19.00.
Tepat pukul 12.00, kami
meninggalkan restoran dan menuju Jalan Nomor Satu. Hambatan pertama ada di kota
Banam, 60 kilometer di selatan Phnom Penh, di mana semua kendaraan harus
menyeberangi Sungai Mekong selebar 500 meter, yang dilayani oleh 4 feri berukuran
sedang. Dalam keadaan normal, waktu tempuh dari Phnom Penh-Banam 1,5-2 jam.
Ternyata lebih dari 9.000 tentara
itu banyak sekali. Mereka diangkut dengan 700-an bus dan truk, serta kendaraan
tentara lainnya itu membuat Jalan Nomor Satu sangat padat. Iring-iringan
kendaraan tentara itu sangat panjang, hampir 15 kilometer, mengingat sebagian
besar kendaraan tentara Vietnam itu adalah kendaraan tua. Tidak sedikit bus
maupun truk yang membawa drum (barrel)
berisi air di atap guna disalurkan dengan pipa plastik ke radiator yang sudah bocor di sana-sini.
Bus dan truk itu tidak bisa berjalan cepat sehingga membuat iring-iringan
kendaraan menjadi lebih panjang karena jarak dengan kendaraan di depannya
semakin jauh. Laju kendaraan-kendaraan itu tidak sampai 20 kilometer per jam.
Pada kilometer-kilometer awal mobil kami bisa mendahului beberapa bus dan truk dalam
iring-iringan itu, tetapi kemudian hal itu tidak dapat dilakukan karena ada dua
bus yang melaju perlahan berjajar di lajur kanan dan kiri. Keduanya tidak mau mengalah,
tapi tidak bisa saling mendahului. Akibatnya, antrean kendaraannya di
belakangnya sangat panjang. Tiba-tiba iring-iringan berhenti total karena ada
dua truk militer yang mogok, satu di lajur kanan dan satu di lajur kiri. Satu
truk mengalami patah as roda depan, dan satu lagi as roda belakang lepas. Para montir
tentara pun segera dikerahkan untuk memperbaikinya.
Praktis bus-bus dan truk-truk dan
kendaraan lain parkir di ruas jalan. Antrean kendaraan yang parkir semakin lama
semakin panjang. Sampai berkilometer-kilometer. Dua jam berlalu, sama sekali
tidak ada pergerakan. Akhirnya, mobil yang kami sewa itupun kami tinggal. Kami
melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, dan menunggu mobil di depan. Tampak
banyak tentara Vietnam turun dari bus dan truk yang berhenti, serta duduk di
pinggir jalan dan bercengkerama dengan penduduk.
Tidak terasa hari sudah gelap. Jam menunjukkan pukul 19.00. Kami sudah 7 jam meninggalkan Phnom Penh, tetapi kota Banam yang biasanya ditempuh dalam 1,5-2 jam masih jauh di depan. Di sepanjang perjalanan tidak ada warung yang menyediakan makanan dan minuman. Untung saya membawa beberapa botol air mineral di ransel. Kami terpaksa menahan lapar. Pukul 22.00, kami bertemu lagi dengan mobil yang kami sewa, dan dengan cepat menuju ke kota Banam. Sepanjang perjalanan kami menyusul beberapa kendaraan tentara. Pukul 23.00, kami tiba di kota Banam, dan langsung menuju ke dermaga penyeberangan. Antrean tidak terlalu panjang karena sebagian besar kendaraan-kendaraan besar masih berada di belakang. Pukul 23.30, kami tiba di seberang, dan langsung tancap gas menuju gerbang perbatasan Kamboja-Vietnam di kota Moc Bai yang jaraknya 130 kilometer. Karena jalannya relatif mulus, mobil dapat dipacu dengan kecepatan tinggi. Sekitar 10 kilometer dari Moc Bai, tampak banyak kendaraan militer diparkir rapi di pinggir jalan. Mereka menunggu rombongan lainnya karena besok pagi akan diadakan upacara penyambutan resmi di Moc Bai. Kami tiba di Moc Bai pukul 01.30, dan mengurus imigrasi. Proses pemeriksaan paspor berlangsung 20 menit. Dari sana, kami langsung menuju hotel di Ho Chi Minh City. Di hotel, kami langsung makan, dan tidur karena kelelahan. Pada hari Selasa, 26 September 1989, tengah hari, iring-iringan kendaraan tentara Vietnam itu memasuki kota Ho Chi Minh City.
Comments
Post a Comment