Cerita Masa Lalu: Sukses Mewawancara, Gagal Mengirim Berita
Pada saat melakukan peliputan, terutama upaya untuk bertemu dengan sumber berita, prosesnya tidak selalu mudah. Jika di dalam negeri, keadaannya lebih mudah karena nama besar Kompas sangat membantu. Namun, saat kita bertugas di luar negeri, keadaannya menjadi sangat berbeda. Bertemu dengan sumber berita itu merupakan tantangan tersendiri.
Kadang kita harus berpikir cepat
dan kreatif untuk dapat bertemu dengan sumber berita. Seperti yang saya alami
saat berusaha mewawancarai Maradona. (Selamat jalan Maradona, Facebook). Hal
yang hampir sama terjadi saat saya berada di Phnom Penh, Kamboja, 16 Februari
1989 dan bermaksud mewawancarai Perdana Menteri (PM) Hun Sen. Kadang kita sudah
berpikir cepat dan kreatif tetapi tetap saja gagal, tiba-tiba kesempatan itu
bagaikan jatuh dari langit, seperti saat bertemu dengan Menteri Luar Negeri (Menlu)
Vietnam Nguyen Co Tach pada akhir tulisan.
Pada hari Kamis, 16 Februari 1989,
saya baru tiba di Phnom Penh dari Ho Chi Minh City (dulu, Saigon), Vietnam
bagian selatan, lewat jalan darat selama tujuh jam. Saya diturunkan di hotel,
di sebelah Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Kamboja. Saya ingat pada waktu itu jam
menunjukkan pukul 12.30. Saya kemudian ke Kemlu, ternyata masih istirahat. Jam
kerja di Kamboja dimulai pukul 07.00 hingga pukul 12.00. Istirahat hingga pukul
14.00, dan lanjut hingga pukul 17.00.
Saya belum didampingi escort, yang merangkap sebagai
penerjemah. Oleh karena, menurut jadwal, saya akan masuk Phnom Penh melalui
Bandar Udara (Bandara) Internasional Phnom Penh (waktu itu, Bandara Pochentong)
sehingga escort sekaligus penerjemah
bahasa Kamboja berencana akan bertemu saya di sana. Namun, pada saat-saat
terakhir, saya memutuskan masuk Phnom Penh lewat jalan darat, agar bisa mendapatkan
gambaran bagaimana sesungguhnya keadaan di Kamboja di bawah kendali Vietnam.
Pukul 14.00, saya kembali ke Kemlu,
dan meminta agar diaturkan waktu untuk wawancara dengan PM Hun Sen. Jawaban
yang diberikan, sulit untuk mewawancarai PM Hun Sen karena Jumat pagi ia akan
menerima tamu dari Laos, dan secepatnya akan ke Jakarta untuk menghadiri
Jakarta Informal Meeting (JIM) II yang akan dimulai hari Minggu, 19 Februari
1989. Saya pikir, yah sudah besok saya cegat PM Hun Sen langsung dikantornya
saja. Sebelum pergi dari Kemlu, saya meninggalkan alamat hotel saya agar escort dapat menemui saya. Pukul 15.30, escort datang menemui saya di hotel, dan
saya minta diantar ke kantor PM Hun Sen pada hari Jumat pagi pukul 05.00.
Pukul 05.00 tepat, masih gelap, saya
sudah sampai di kantor PM Hun Sen, dan mobil diparkir di samping kantor PM.
Dengan berbekal kamera, saya menunggu di dekat pagar pintu masuk ke kantor PM.
Sebelumnya, saya diperkenalkan oleh escort
kepada personel pos jaga sehingga saya bebas menunggu di sana. Pukul 06.15,
mobil PM Hun Sen datang, saya mencegatnya sambil menunjukkan kamera untuk
memperlihatkan bahwa saya adalah wartawan. Mobil itu berhenti dan PM Hun Sen
membuka jendela, dengan cepat saya menyampaikan bahwa saya wartawan dari Indonesia
dan ingin wawancarainya. Sambil tersenyum, PM Hun Sen mempersilakan saya masuk.
Wawancara pun segera dilakukan. Di tengah-tengah wawancara, saya ditanya,
apakah keberatan apabila ada wartawan dari The
Times yang ikut bergabung? Saya jawab, tidak apa-apa, dengan pertimbangan semua
pertanyaan penting yang saya ajukan sudah dijawab. Nama wartawan itu John
Pedler, cukup senior, dan kelihatannya PM Hun Sen mengenalnya.
Berhasil mewawancarai PM Hun Sen
itu suatu pencapaian. Namun, dalam pekerjaan wartawan itu baru setengah bagian dari
keseluruhan proses. Setelah bertemu dengan sumber berita, tugas berikutnya
adalah membuat berita dan mengirimkan berita itu ke kantor Redaksi Kompas di Jakarta. Pada era itu, pengiriman
berita masih dilakukan dengan menggunakan teleks itu, selain sambungan
telekomunikasi itu tidak mudah diperoleh, pengiriman berita pun memerlukan
waktu yang lama. (baca: Kemajuan
Teknologi Informasi 40 Tahun Terakhir)
Namun, saya tidak sempat membuat
berita di Phnom Penh karena pukul 14.00, saya sudah ditunggu pesawat ke
Vientiane, Laos. Saya berencana mengirimkan berita hasil wawancara itu dari
Vientiane malam itu, karena besoknya pagi-pagi saya akan terbang ke Bangkok,
Thailand, dan lanjut ke Jakarta. Dengan demikian, hari Sabtu sore saya sudah
tiba di Jakarta, dan sudah dapat melakukan peliputan JIM II.
Tiba di Vientiane pukul 15.30,
saya mencari hotel, dan langsung membuat berita. Saya menghubungi Kedutaan
Besar Republik Indonesia (KBRI) di Vientiane dan menginformasikan akan
mengirimkan berita dari sana. Judul beritanya, Hun Sen kepada ”Kompas”, Penyelesaian Politik Masalah Kamboja Harus
Tahun Ini Juga. Namun, ternyata saluran teleks dan telepon internasional
mengalami gangguan sehingga pengiriman berita tidak dapat dilakukan hingga melampaui
batas waktu deadline. Pada saat itu,
rasanya kepala saya akan meledak. Upaya yang awalnya baik, berakhir buruk.
Saya bilang, sudah pengiriman beritanya
dihentikan saja, toh besok saya sudah sampai Jakarta, jadi berita bisa saya
masukkan sendiri ke Redaksi. Namun, petugas di KBRI itu tidak mau menghentikan
proses pengiriman berita itu, dan pada pukul 01.01 berita itu terkirim. Namun,
tetap saja pemuatannya baru akan dilakukan hari Sabtu, dan keluar pada hari
Minggu, pas pada hari pembukaan JIM II.
Gagal terbang ke Bangkok
Ternyata bagi saya, kesialan itu
belum berakhir. Sabtu pagi, ketika sampai di Bandara Vientiane, ternyata
penerbangan dari Vientiane ke Bangkok dibatalkan. Pada hari itu, tidak ada
penerbangan ke Bangkok, karena pesawatnya digunakan oleh para pejabat Kemlu Laos
yang akan menghadiri JIM II.
Pesawat Vientiane-Bangkok
berikutnya baru ada pada hari Selasa, empat hari lagi. Pada saat itu, JIM II
sudah berakhir. Saya bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Semangat saya
langsung terbang entah ke mana. Tiba-tiba, pada saat yang kritis itu, pundak saya
ditepuk oleh seseorang. Saya menoleh ternyata, John Pedler. Ia tertawa melihat
saya yang sedang bingung. Ia mengatakan, ”Tenang saja James, kita bisa ke
Bangkok naik kereta api.” Semangat saya langsung muncul kembali.
”Ini kan masih pagi. Kita saja
makan dulu. Setelah itu, baru kita cari
taksi untuk ke perbatasan. Perbatasan tidak jauh kok hanya sekitar 20 menit
naik taksi,” ujar John Peddler. Setelah makan, kami santai-santai sejenak, sambil
membeli oleh-oleh, dan kemudian mencari taksi. Sekitar 20 menit kami sampai di
perbatasan. Pada saat itu, penyeberangan Sungai Mekhong selebar lebih dari 300
meter dilakukan dengan perahu berukuran sedang. Jembatan Persahabatan yang
menghubungkan Vientiane dengan Nong Khai selesai dibangun pada tahun 1994. Menyeberang
dengan perahu di sungai yang lebarnya lebih dari 300 meter itu memberikan
pengalaman tersendiri. Apalagi bagian pinggir perahu itu tingginya hanya 10
sentimeter dari permukaan air sungaI yang berwarna kecoklatan itu. Proses
imigrasi di wilayah Laos dan Thailand berlangsung lancar.
Begitu sampai di Nong Khai, kota
kecil 626 kilometer di utara Bangkok, perasaan saya sangat lega. Saya seperti
keluar dari isolasi dan kembali ke dunia modern kembali. Mau menelepon tinggal
ke wartel. Demikian juga, jika ingin mengirim facsimile juga mudah. Kereta api
ke Bangkok akan berangkat pada pukul 17.40 dan akan sampai di Bangkok pukul
06.00 hari Minggu. Kereta apinya menyediakan tempat tidur bertingkat. Karena
masih banyak waktu, saya dan John jalan-jalan di kota Nong Khai dulu.
Tepat pukul 17.40, KA berangkat.
Selintas KA itu mirip KA Bima Jakarta-Surabaya. Ternyata, sebelum sampai di
Stasiun KA Bangkok, KA melewati Bandara Don Muang. Namun, karena KA berherti di
Bandara Don Muang pukul 05.00, dan pesawat saya ke Jakarta akan berangkat pada
pukul 10.00, maka saya memutuskan untuk turun di Bangkok. KA sampai di Stasiun
KA Bangkok pada pukul 06.00. Di sana, saya berpisah dengan John. Ia akan
tinggal beberapa hari di Bangkok, sementara saya langsung naik taksi ke Bandara
Don Muang. Walaupun saya baru mengenalnya, tetapi rasanya saya sudah
mengenalnya lama. Selain asyik diajak berbicara, saya belajar banyak darinya,
termasuk mengenai aksara Thailand, Krung Thep, nama Thailand untuk Bangkok. Saya
tidak pernah bertemu dengan dia lagi.
Pukul 07.00, saya sampai di Don
Muang. Pukul 08.00 meja check in
dibuka, saya diminta menunggu karena pesawat fully book. Saya seharusnya berangkat dari Bangkok, hari Sabtu,
sehingga saya waiting list untuk
pesawat pada hari Minggu itu. Menunggu kalau-kalau ada penumpang yang
membatalkan penerbangannya. Kalau saya tidak bisa menaiki pesawat ini, saya
diikutkan ke pesawat sore yang ke Jakarta lewat Singapura. Ternyata, saya
beruntung. Pada pukul 09.30, saya dipanggil dan bisa ikut pesawat itu. Oleh
karena kelas ekonomi penuh, saya dititipkan di kelas bisnis. Minggu sore, saya sudah
bergabung dengan rekan-rekan yang ditugaskan meliput JIM II.
Comments
Post a Comment