Eksklusif…
Ada pengalaman menarik. Pada tahun 1987, saya ditugaskan Kompas untuk meliput jalannya pemilihan umum tanggal 23 Maret di Dili, Timor Timur. Seperti diketahui, pada saat itu Timor Timur masih merupakan wilayah yang tertutup. Diperlukan izin khusus bagi orang luar untuk mengunjungi Timor Timur, terutama wartawan.
Itu sebabnya, sebelum berangkat
saya mengurus surat izin untuk memasuki Timor Timur ke Markas Besar ABRI di
Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Pada waktu itu, saya dibekali alat
telephoto Nikon seberat 21 kilogram untuk mengirim foto dari Dili ke Redaksi Kompas di Jakarta. Oleh karena,
pengiriman foto dengan alat telephoto itu menggunakan saluran telepon maka selain
surat izin untuk memasuki Timor Timur, saya juga mengurus izin untuk menelepon
ke luar Timor Timur. Saya mendaftarkan salah satu nomor direct line ke Redaksi Kompas. Dan, saya diingatkan bahwa itu
adalah satu-satunya nomor telepon di Jakarta yang bisa saya hubungi dari Dili.
Setelah peliputan, saya kembali ke hotel untuk membuat berita dan mengirimkannya dengan faksimili. Sementara untuk mengirimkan foto, saya menggunakan alat telephoto Nikon. Untuk mengirimkan foto dengan menggunakan telephoto Nikon, saya harus mencuci filmnya sendiri, dan mengirimkan film negatifnya. Satu frame memerlukan waktu lebih kurang 30 menit. Kalau sekarang, dengan tersedianya jejaring internet, pengiriman satu frame foto hanya mermerlukan waktu kurang dari 3 detik.
Saya segera menyiapkan kantung hitam, serta memasuki gunting, rol film, reel dan silinder pengembang (developer). Setelah semuanya siap, saya memasukkan tangan ke dalam kantung hitam dan menarik film dari rol secukupnya, mengguntingnya, lalu menggulungnya di reel dan memasukkannya ke dalam silinder pengembang yang kedap cahaya serta menutupnya. Setelah film ditempatkan dalam silinder pengembang, kantung hitam dibuka.
Dan, proses pencucian film dimulai. Cairan
pengembang dimasukkan ke dalam silinder. Di kamar gelap yang suhunya sekitar 20
derajat Celsius, proses pencucian film memakan waktu 10-12 menit, tetapi karena
suhu di kamar siap itu 30 derajat Celcius lebih maka saya putuskan waktunya 5
menit saja. Lalu, cairan fixer pun
dimasukkan, sekitar 1 menit, dan setelah dikeluarkan lalu dibilas dengan air. Saya
belajar cuci film dari wartawan senior Harian Sinar Harapan Harry Kawilarang (meninggal 10 Agustus 2020) semasa saya
magang di Tabloid Mutiara pada awal tahun 1980an.
Saya memilih satu frame film negatif dan memasangnya di alat telephoto Nikon. Dan untuk mengirim foto, saya menghubungi operator, dan disambungkan dengan nomor direct line di Jakarta. Setelah alat penerima di Jakarta diaktifkan, foto pun dikirim. Setelah proses pengiriman berjalan 12 menit, tiba-tiba sambungan terputus.
Saya segera menelepon operator, dan menanyakan mengapa sambungan terputus. Operator itu menjawab, karena yang terdengar hanya bunyi aneh, dan tidak ada yang berbicara, jadi sambungan diputus. Rupanya operator itu mungkin berniat menguping pembicaraan telepon saya... hehehe... Lalu, saya bilang jangan diputus, bunyi aneh itu adalah proses pengiriman foto, dan lamanya kira-kira 30-35 menit. Setelah itu, proses pengiriman diulang kembali. Dan, berhasil. Keesokan harinya, Kamis, 16 April 1987, foto itu eksklusif, karena merupakan foto kampanye pemilu pertama dan satu-satunya dari Timor Timur.
Pada hari Jumat, 24 April 1987,
foto kedua dari Timor Timur, digabung dengan foto pemilu dari beberapa daerah
di halaman 1. Pada hari Senin, 27 April 1987, empat hari setelah pemilu, foto
ketiga dari Timor Timur muncul kembali di Kompas, dan melalui proses pengiriman
yang sama.
Selama berada di Timor Timur saya agak leluasa bergerak karena rambut saya keriting, mirip warga setempat. Malam hari, saya diajak Salvador Ximenes, diajak ke perkambungan di salah satu bukit, di luar jalan aspal. Suasananya sangat menarik. Kebetulan ada pesta dan muda-mudinya berdansa Cacaca dengan iringan musik mirip keroncong. Pengaruh Portugal sangat terasa.
Sayangnya karena film negatifnya tidak bisa ditemukan, jadi ketiga foto eksklusif dari Timor Timur itu tidak dapat dimuat di buku foto 50 tahun Harian Kompas.
Comments
Post a Comment