Mimpi Menempuh Jakarta-Bandung Minus 24 Jam…
SESUAI dengan kemajuan zaman dan teknologi
waktu tempuh dari Jakarta (dulu, Batavia) ke Bandung menjadi semakin singkat. Cerita-cerita
yang berasal masa pendudukan Belanda, pada tahun 1770-an, mengisahkan,
perjalanan dari Jakarta ke Bandung dengan gerobak yang ditarik oleh dua ekor
sapi memerlukan waktu empat hari empat malam.
Kadang-kadang perjalanan itu menjadi lebih
lama karena orang memilih untuk hanya berjalan pada pagi hingga sore hari,
serta beristirahat pada malam hari. Selain gelap, juga karena alasan keamanan. Tahun 1880-an, setelah Gubernur Jenderal
Hindia Belanda Herman Willem Daendels (1808-1811) membangun dan menyambung
jalan dari Anyer hingga Panarukan, perjalanan dari Jakarta ke Bandung dengan
kereta kuda pos kilat dapat dilakukan satu setengah hari. Dengan melakukan
pergantian kuda-kuda, pada jarak 9-10,5 kilometer. Dan, itu tentunya dilakukan pada kondisi jalan kering.
Dan, pada tanggal 10 Mei 1911, ketika
diadakan lomba Jakarta-Surabaya nonstop antara mobil Charron dan Delaunay
Belleville, dua-duanya buatan Perancis, tercatat Charron berangkat dari Jakarta
(wilayah Matraman, Jakarta Timur) menjelang senja (menjelang pukul 18.00), dan
disusul oleh Delaunay Belleville 15 menit kemudian.
Rute yang dilalui kedua mobil itu dari
Matraman, Jatinegara, Cawang, Cililitan, Kramat Jati, Cisalak, Cibinong, Bogor,
Cibadak, Sukabumi, Cianjur, Padalarang, Cimahi, dan Bandung. Pukul 23.00,
Charron melewati kota Cimahi dan 10 menit kemudian sampai di Hotel Preanger di
Bandung. Itupun, Charron sempat
terguling di wilayah Gunung Missigit (Sukabumi) hingga waktu sempat terbuang
sekitar 45 menit. Jadi, total waktu tempuh Jakarta-Bandung yamg dilakukan
Charron adalah 5 jam dan 25 menit. Namun, harus diingat pada masa itu jalanan
masih sangat lengang, apalagi pada malam hari. Kota-kota yang dilalui pun masih
sepi dari penduduk, dan tidak ada permukiman di dekat ruas jalan. Pengemudi
Charron nyaris tidak menginjak pedal rem, kecuali saat memasuki tikungan dan di
jalan menurun.
Lomba itu akhirnya dimenangkan oleh Charron
karena Delaunay Belleville mengalami kecelakaan 75,3 kilometer menjelang kota
Semarang, dan memutuskan untuk tidak melanjutkan lomba. Charron menempuh
perjalanan Jakarta-Surabaya dalam waktu 19 jam dan 26 menit.
Pada tahun 1940-an, terutama setelah
kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945,
kondisi jalan yang dilintasi tidak semulus dulu. Di berbagai bagian jalan
dpenuhi lubang. Kota-kota yang dilalui sudah lebih padat penduduk, dan lalu
lintas pun semakin ramai. Dengan demikian, perjalanan dengan mobil dari Jakarta
ke Bandung memerlukan waktu 7-8 jam.
Oleh karena, kendaraan besar, terutama
truk, yang melalui lajur Cibadak, Sukabumi, semakin ramai, maka pada tahun
1960-an, banyak kendaraan yang menuju Bandung melalui jalur Puncak. Jarak
tempuhnya lebih dekat, tetapi tanjakannya lebih berat. Namun, dengan semakin kuatnya tenaga mesin mobil, maka tanjakan berat tidak
menjadi masalah. Pada akhir tahun 1960-an, perjalanan dari Jakarta ke Bandung melalui
Puncak menghabiskan waktu sekitar 5-6 jam. Begitu memasuki kota Bogor, Cianjur
dan kemudian Padalarang lalu lintas sangat padat. Semua jenis kendaraan lalu
lalang di sana, termasuk becak dan kereta kuda.
Pada tahun 1970-an, ketika Jalan Tol
Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi) mulai dibuka, waktu tempuh Jakarta-Bandung itu
menjadi lebih singkat lagi, yakni hanya 4-5 jam. Kemudian, pada tahun 1980-an
ketika Jalan Tol Jakarta-Cikampek dibuka, maka waktu yang diperlukan untuk
melakukan perjalanan dari Jakarta ke Bandung melalui Purwakarta atau Subang
berkurang sekitar 30 menit, menjadi hanya 3,5-4 jam. Pada tahun 2002, dengan dibukanya
ruas Tol Cikampek-Sadang, membuat waktu tempuh Jakarta-Bandung berkurang lagi
sekitar 30 menit, menjadi 3-3,5 jam. Jadi, pengendara mobil yang menuju Bandung
ke luar di Sadang, melalui jalan biasa, dan di Padalarang masuk kembali ke
jalan tol Padalarang-Cileunyi (Padaleunyi).
Dan, waktu tempuh Jakarta-Bandung menjadi
lebih singkat lagi dengan dibukanya Jalan Tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang
(Cipularang)—yang menyambung hingga Cileunyi—, akhir April lalu, beberapa hari
menjelang peringatan 50 tahun Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Jarak antara
Jakarta dan Bandung seakan-akan menjadi lebih dekat karena melalui Jalan Tol
Cipularang waktu tempuh Jakarta-Bandung hanya 1,5-2 jam.
Dengan jarak tempuh yang tidak sampai 2
jam, hampir mematikan jalur kereta api Jakarta-Bandung yang menghabiskan waktu
3 jam. Namun, dengan padatnya lalu
lintas di tol Jakarta-Cikampek, dan semakin ramainya lalu lintas di tol
Cipularang, jarak tempuh Jakarta-Bandung kembali menjadi 3-4 jam, bahkan
terkadang sampai 6-7 jam.
Pada hari Jumat, 17 Mei 2005, saat melakukan test drive BMW 645Ci dari Jakarta ke Bandung. Tepat pada pukul 10.20 saya membayar tiket di gerbang tol Semanggi, dan pukul 11.30, saya membayar tiket di gerbang tol Pasteur. Itu adalah rekor yang tidak pernah terulang lagi. Batas waktu psikologis 1,5 jam ditembus. Judul yang dipakai pun agak bombastis, ”Saat di Mana Waktu Seakan Berhenti…”
Rekor
dipegang pesawat terbang
SEIRING dengan perjalanan waktu, makin lama
waktu tempuh Jakarta-Bandung semakin singkat. Dari berhari-berhari menjadi
hanya dalam hitungan menit. Pada saat ini, rekor tempuh Jakarta-Bandung
dipegang oleh pesawat terbang kurang lebih 30 menit. Nanti, kalau kereta api
cepat Jakarta-Bandung selesai, waktu tempuhnya 45 menit.
Dalam kaitan itulah, saya bermimpi, suatu
ketika waktu tempuh Jakarta-Bandung minus 24 jam. Yang dimaksud dengan minus
24 jam, adalah berangkat hari ini, sampainya kemarin. Kok bisa? Ingat film fiksi
ilmiah (science fiction) ”Back to The
Future” di mana kecepatan mobil hasil rancangan Emmett ’Doc” Brown (Christopher
Lloyd) yang dikendarai oleh Marty McFly (Michael J Fox) melampaui kecepatan
cahaya hingga menembus batas ruang dan waktu, dan mundur 30 tahun ke belakang, dari
tahun 1985 ke tahun 1955. Kecepatan cahaya sekitar 300.000 kilometer per detik,
atau 1.080 juta kilometer per jam (1,08 miliar kilometer per jam).
Dalam kecepatan yang ada sekarang, tidak dikenal kecepatan minus, mengingat pada kecepatan 0 kilometer per jam, kendaraan dalam keadaan berhenti. Kalaupun mobil berjalan mundur angka spidometer tetap menunjukkan kecepatan 0 kilometer per jam.
Bayangkan, bagaimana kerennya kalau kita berangkat hari ini, dan saking kencangnya hingga sampainya kemarin… Sayangnya itu hanya ada dalam fiksi ilmiah. Dan, rasanya impian itu akan tetap tinggal impian, paling tidak hingga 100 tahun mendatang. Oleh karena kecepatan tertinggi yang dapat dicapai baru 265.000 per jam, masih sangat jauh dari kecepatan suara.
Comments
Post a Comment